Terjadinya Bledug Kuwu (Last part)

Cuaca cerah mewarnai langit kala itu, ayam jago yang dulunya dimasukan kandang di dekat lumbung padi ternyata dapat bertelor seperti ayam betina pada umumnya, namun ukuran telur sedikit lebih besar dari sewajarnya dan tidak menandakan akan menetas pada rentang waktu pada umumnya, juga tidak terdapat tanda-tanda busuk walaupun tidak menetas. Lalu Roro Cangkek menyimpan telor tersebut di bawah tumpukan lumbung padi. Minggu berganti bulan, Nyai Grenteng penasaran mengapa padi  yang diambil tiap hari untuk dimasak tak kunjung berkurang. Kemudian Ki Grenteng bermaksut melihat lumbung padi tersebut atas aduan dari istrinya, saat lumbung padi hendak akan dibuka didapati ada sesuatu yang bergerak-gerak perlahan, lalu Ki Grenteng mengambil tongkat yang akan dipergunakan untuk memukul jika mendapat ancaman pada dirinya. Kembali lagi Ki Grenteng mengeceknya, seketika kaki Ki Grenteng gemetaran dan tongkat yang ia pegang tanpa sadar terlepas dari tangannya karena melihat kepala ular yang dapat berbicara.
“Kaki,….! Saya tidak mengganggu kaki, jangan takut, tolong hadapkan aku dengan Ibu Roro Cangkek.” Ki Grenteng terpelanga melihat sosok ular tersebut, kucuran keringat membasahi seluruh tubuhnya. Kemudian ia berlari mencari putrinya dan diajak Nyai Grenteng untuk menyaksikan juga apa yang terjadi di lumbung padi. Sampai dilumbung dibuka perlahan tumpukan padi, mengetahui ada kepala ular yang begitu besar Nyai Grenteng berteriak lalu mendadak pingsan, begitu juga dengan Roro Cangkek. Menghadapi hal demikian, Ki Grenteng mencoba untuk menenangkan diri, merawat istri dan anaknya yang jatuh pingsan. Rasa panik yang dirasakan sangat sulit dihilangkan. Namun, Ki Grenteng berusaha untuk tenang dan meyakinkan diri bahwa ular raksasa tersebut memang benar adanya tidak mempunyai niatan untuk mengganggu. Tak lama berselang, setelah Roro Cangkek yang dirawat Ki Grenteng bangun dan sadarkan diri. Melihat ular raksasa tersebut Roro Cangkek teringat dengan Ajisaka karena terdapat tanda wajah yang dimiliki ular tersebut, Roro Cangkek pun hanyut dalam lamunan, teringat pula pesan yang disampaikan Ajisaka sebelum diberangkatkan ke Medang Kamolan oleh Patih Aryo Tengger dan Tumenggung Rudo Pekso.

“Ibu, jangan melamun! Saya sudah tahu apa yang Ibu selalu khawatirkan, yaitu keselamatan ayahanda Ajisaka. Saya tidak akan berbuat sesuatu terkecuali beliau yang memerintahkan. Ibu, tunjukan dimana sekarang Ayahanda berada.“

“Baiklah kalau itu maumu, berangkatlah sekarang juga menuju Medang Kamolan, beliau saat ini menjadi raja di sana dan bergelar Prabu Ajisaka.“

“Terimakasih Ibu, saya akan berangkat sekarang juga, minta doa restu kepada Kaki dan Nyai sekalian, saya mohon pamit.“

Dari dalam lumbung padi tersebut, ular menjalar keluar dan segera menuju Medang Kamolan melalui hutan-hutan, sesekali orang yang menjumpai ular raksasa tersebut lari terbirit-birit, bahkan ada orang yang tak sengaja masuk dalam jurang dan akhirnya meninggal. Sesampainya didepan pintu gerbang, perjalanan ular tersebut terhenti karena dihadang oleh penjaga, karena ular tersebut dianggap membahayakan Medang Kamolan, penjaga gerbang berusaha mengusirnya. Namun, usaha yang dilakukan seperti tidak ada artinya.
“Hai orang-orang Medang Kamolan, janganlah engkau menggangguku apabila ingin selamat. Ketahuilah bahwa aku adalah putra Sang Prabu Ajisaka, oleh sebab itu tolong sampaikan kepada Ayahanda Prabu kalau aku akan menghadap.” Para prajurit saling berpandangan melihat seekor ular yang dapat berbicara layaknya manusia, terlebih ular tersebut mengaku bahwa dia adalh anak dari sang raja. Kemudian salah seorang prajurit menghadap raja untuk menyampaikan apa yang telah terjadi. Setelah mendengar keterangan, Ajisaka  seeakan tidak percaya jika dia memiliki anak yang berwujud ular, untuk memastikan apa yang telah disampaikan oleh prajuritnya, ular raksasa tersebut lalu di ijinkan memasuki istana. Kemudian prajurit bergegas ke gerbang kerajaan menjemput ular untuk dihadapkan Ajisaka.

“Hai ular raksasa! Siapa kamu sebenarnya? Lalu apa keperluanmu datang kemari?“

“Ampun Ayahanda prabu, sekalipun saya berwujud seekor ular, saya benar-benar putra dari Ayahanda Prabu.“

“Ular raksasa, engkau jangan asal bicara, gunakan otakmu. Mana mungkin ada manusia mempunyai anak seekor ular semacam kau. Disamping itu sampai saat ini saya belum menikah. Seandainya aku beristri pastilah anakku seorang manusia. Jangan membuat kekacauan disini!”

“Ampun Ayahanda Prabu, ijinkanlah hamba menyampaikan amanat dari ibu Roro Cangkek.”
Mendengar nama “Roro Cangkek”, Ajisaka langsung terkejut.

“Baiklah, ayo ceritakan apa yang hendak kamu katakan“

“Berdasarkan cerita dari Ibu Roro Cangkek, bahwa dahulu Ayahanda Prabu pernah singgah di rumah Aki Grenteng.  Saat itu Ayahanda melihat ibu Roro Cangkek sebelum Ayahanda buang air di kamar kecil. Tak lama setelah itu Ayahanda segera bergegas ke kamar kecil untuk buang air kecil. Dari kejauhan datang seekor ayam jago untuk meminumnya. Kemudian ayam jago tersebut bertelur, lalu telur tersebut disimpan oleh ibu Roro Cangkek di dalam lumbung padi. Kemudian telur itu menetas menjadi saya.“

“Tidak mungkin! Itu mustahil, ular keparat ....! sana pergi ke tempat asalmu, sebelum kuusir dan kubunuh.“

“Ayahanda Prabu, Ayahanda hendaknya tidak marah di dalam istana yang damai ini. Perlu hamba haturkan lagi sebelum hamba mati di tangan ayahanda, siapa tahu atas kematianku nanti dapat merubah wujudku dari seekor ular raksasa menjadi seorang manusia.“

“Tidak bisa! Ular mati tetap ular. Tidak bisa menjadi manusia.“

“Ada contohnya ayahanda prabu. Prabu Dewata Cengkar dulunya manusia, kemudian berubah menjadi buaya putih setelah kematiannya dari tangan ayahanda Prabu Ajisaka. Dengan contoh itu ayahanda Prabu, hamba rela atas segalanya apabila ayahanda sendiri yang menghendakinya.“

“Ya, aku menyadari semuanya itu dan aku mau mengakui engkau adalah anakku, tetapi ada syaratnya. Aku mempunyai musuh yang sangat berbahaya pada keselamatan rakyat Medang Kamolan, wujudnya buaya putih yang bertempat di Samodra kidul, kalau kamu berhasil membunuh dan kembali ke Medang Kamolan melalui dasar bumi baru kuakui anakku. Sanggup? Kalau tidak berhasil rakyat akan membunuhmu.“

“Sanggup Ayahanda Prabu, demi rakyat kerajaan Medang Kamolan semua perintah Ayahanda Prabu akan hamba laksanakan.“

“Baiklah sekarang dapat kau laksanakan!“

“Hamba akan segera melaksanakan tugas itu ayahanda, mohon doa restu.“

Sambil mengangkat sedikit kepalanya yang seolah selesai menyembah, perlahan ular itu melata keluar dari dalam istana. Dan setelah itu, perjalanan ular itu bagaikan kilat hilang dalam sekejap menuju samodra kidul. Perjalanan dari Medang menuju samodra kidul melewati hutan belantara, tak mudah jika dilakukan oleh manusia biasa, namun ular raksasa tersebut melakukannya dengan begitu mudah. Sampai pada akhirnya tiba di pantai dan melihat seekor buaya putih yang sedang berjemur. Tanpa menunggu lama ular raksasa tersebut langsung melakukan penyerangan, buaya putih yang tanpa persiapan dibuatnya terpojok, air di lautanpun seketika berubah menjadi merah akibat darah yang bercucuran. Hingga seluruh tubuh buaya putih berhasil dililit dan di tenggelamkan sampai buaya tersebut menghembuskan nafas terakhir. Sebagai bukti bahwa ular raksasa tersebut berhasil meembunuh buaya putih, ditelanlah kepala buaya putih untuk dijadikan bukti bahwa ular telah berhasil membunuh buaya putih.
Perjalanan pulang ke Medang Kamolan sudah semestinya dilakukan melalui dasar bumi, sesuai dengan perintah Ajisaka. Dari samodra, ular raksasa tersebut langsung masuk ke dalam bumi untuk kembali menuju ke Medang Kamolan. Karena perjalanan sudah dianggap ukup jauh, ular raksasa ingin melihat sejauh mana perjalannya, untuk itu ia keluar dari perut bumi untuk pertama kalinya. Menurut masyarakat setempat kemunculan ular pertama kali terletak pada desa Jono, Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan. Sampai saat ini tempat tersebut terkenal sebagai penghasil bleng (cairan untuk campuran pembuat krupuk) yang dapat diolah menjadi garam dapur. Karena dirasa perjalanan menuju Medang Kamolan masih jauh ketimur ular tersebut kembali masuk kedalam bumi untuk melakukan perjalanan, hingga kemunculan keduanya terletek di desa Crewek Kecamatan Kradenan Kabupaten Grobogan. Untuk ketiga kalinya, munculnya ular berada di Bledug Kuwu yang juga terletak di Kecamatan Kradenan. Karena tenaganya sudah hampir habis untuk melakukan perjalanan, perjalanannya menujuke medang kamolan terhenti karena ular terseebut menjadi lumpuh tak berdaya. Saat berada ditempat tersebut terjadi keajaiban, tubuh ular tersebut berangsur-angsur mengecil, dan wujudnya berubah menjadi seorang anak kecil. Saat sosok ular tersebut berubah mentuk menjadi seeorang anak yang lumpuh berwajah pucat, kebetulan ditemukan oleh dukun bayi. Dengan berbelas kasih dukun bayi terseebut suka rela untuk memijat anak tersebut hingga keadaanya sehat kembali. Lalu di tanya pada anak tersebut.

“Kamu sebenarnya siapa nak?

“Saya Linglung Mbah“

“Sebenarnya mau kemana?“

“Akan ke Medang Kamolan Mbah, kalau dari sini terus ke arah mana?“

“Medang Kamolan sudah dekat, dari sini terus ke arah timur nanti cepat sampai.“

“Terimakasih mbah, nanti saya akan ke sana.“

“Apakah kamu berani berangkat sendirian? Hutan disana sangat lebat dan masih banyak binatang buas.”

"Saya sudah biasa melewati jalan seperti itu mbah."

"Jika demikian berangkatlah, hati-hati di perjalanan, semoga engkau cepat sampai Medang Kamolan dengan selamat."

"Terimakasih mbah, saya mau berangkat, minta doa restu dan sebelumnya minta maaf telah merepotkan mbah dukun, sehingga badanku pulih kembali tapi saya tidak dapat memberikan apa-apa, terkecuali mendoakan agar dengan peristiwa di tempat ini nama Mbah Dukun akan dikenang oleh anak cucu nanti."

Tempat yang dimaksudkan saat ini berada di pojok timur laut lokasi dari Bledug Kuwu, hingga saat ini tempat tersebut masih dikeramatkan oleh masyarakat setempat dan dijaga oleh juru kunci, lebih-lebih pada tanggal 1 sampai 9 Syuro banyak yamg tirakatan sambil mengerjakan solat malam memohon berkah dari Allah SWT.


Anak kecil yang mengaku Linglung setelah berpamitan dengan mbah Dukun kembali menengok lubang dimana ia keluar dari perut bumi. Tak lama setelahnya melekat keduatangan serta kedua kakinya dan berubah wujud kembali menjadi ular raksasa, lalu ular terseebut masuk kedalam lubang tersebut dan melakukan perjalanan kembali. Lubang bekas masuknya ulat tersebut tak lama berselang pulih kembali dengan terisi lumpur yang diikuti keluarnya lumpur sesekali dan diiringi suara "bledug"….."bledug"….. begitu seterusnya sampai sekarang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alasan kenapa semua bilangan yang dibagi 0 hasilnya 1

Arti Aksara Jawa (Ha Na Ca Ra Ka)

5 Akun Instagram Traveller Dunia yang Patut Anda Ikuti